Upaya Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan dalam mempercepat penanganan Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) kembali ditegaskan melalui kegiatan Bimbingan Teknis RTLH Cluster Banua Enam dan Saijaan yang digelar di Banjarbaru. Sejumlah narasumber dari instansi strategis memaparkan arah kebijakan dan pendekatan baru yang dinilai mampu memperkuat penyediaan rumah layak huni bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Dalam paparannya, Perencana Ahli Muda Bappeda Provinsi Kalsel, Erna Dewi Falina, mengungkap bahwa kebutuhan rumah layak huni di Kalsel masih sangat tinggi. Berdasarkan kompilasi data perumahan dan sosial ekonomi, jumlah RTLH di Kalsel diperkirakan mencapai ratusan ribu unit. Erna menyampaikan bahwa pemerintah mengutamakan penyelarasan program dengan RPJMN 2025–2029 dan RPJMD Kalsel yang menempatkan perumahan sebagai sektor prioritas. “Basis data yang akurat menjadi kunci,” ujarnya, menekankan pentingnya penerapan DTSEN agar penyaluran bantuan lebih tepat sasaran.
Sementara itu, Kabid Perencanaan Daerah menyoroti aspek penganggaran. Menurutnya, penyusunan APBD 2026 harus diarahkan untuk memperkuat program-program prioritas, termasuk penanganan RTLH. Ia menegaskan pentingnya konsistensi dokumen perencanaan, efisiensi belanja, serta penggunaan indikator kinerja terukur agar program perumahan tidak hanya tersusun di atas kertas, tetapi efektif di lapangan. Pemerintah daerah, katanya, harus lebih selektif memilah kegiatan yang memiliki dampak langsung bagi masyarakat.
Dari sisi pengawasan, Muhammad Hafidz Riyadi, PPUPD Ahli Muda dari Inspektorat Provinsi Kalsel, menjelaskan bahwa penyaluran dana hibah dan bantuan sosial untuk RTLH berada di bawah pengawasan ketat. Ia memaparkan adanya empat skema pengawasan: melekat, fungsional, legislatif, dan partisipatif masyarakat. Inspektorat, tambahnya, tidak hanya melakukan monitoring dan audit, tetapi juga menerima laporan masyarakat melalui berbagai kanal aduan. “Keterbukaan informasi sangat penting untuk mencegah penyimpangan,” tegasnya.
Paparan dari Caritra Indonesia menambah perspektif baru terkait pemberdayaan masyarakat. Lembaga ini menyoroti peran penting fasilitator dalam mendampingi masyarakat berpenghasilan rendah agar dapat memperoleh rumah layak melalui Pembiayaan Mikro Perumahan (PMP). Fasilitator dinilai berperan strategis dalam pemetaan sosial, literasi keuangan, penyusunan RAB, hingga pengawasan kualitas konstruksi di lapangan. PMP menyediakan opsi pembiayaan hingga 50 juta rupiah dengan cicilan fleksibel yang menyesuaikan pola pendapatan masyarakat sektor informal.
Para narasumber sepakat bahwa percepatan penanganan RTLH di Kalsel memerlukan pendekatan integratif yang menggabungkan perencanaan matang, akurasi data, penganggaran efektif, pengawasan ketat, serta pemberdayaan masyarakat. Dengan kolaborasi lintas sektor ini, Pemprov Kalsel berharap target peningkatan rumah layak huni dapat dicapai lebih cepat serta memberikan dampak nyata bagi kualitas hidup warga.